Dirjen Pajak Suryo Utomo tetiba viral karena fotonya sedang naik motor gede tersebar. / IG Sri Mulyani

Klub Moge Pegawai Pajak yang Bikin Sri Mulyani Berang, Namanya Bikin Hati Nyesak, Ingat Penjajahan Belanda

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Pasca kasus Dandy Mario anak pejabat Ditjen Pajak yang suka pamer harta viral, telah pula membuka tabir gaya hidup hedon pegawai Ditjen Pajak lainnya. Salah satunya adalah komunitas motor gede (moge) pegawai pajak yang anggotanya juga Dirjen Pajak Suryo Utomo.

 

Nama komunitas moge pegawai pajak itu adalah Klub Blasting Rijder DJP. Komunitas ini viral setelah beredar foto Dirjen Pajak Suryo Utomo dan pegawai pajak lainnya mengendarai moge dalam sebuah kegiatan bersama Klub Blasting Rijder DJP.

Terkait kehadiran klub Blasting Rijder DJP, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah tegas meminta club ini dibubarkan. 

Sri Mulyani melalui akun Instagramnya @smindrawati menulis sebagai berikut:

Beberapa hari ini beredar di berbagai media cetak dan online foto dan berita Dirjen Pajak Suryo Utomo mengendarai Motor Gede (MoGe) bersama klub Blasting Rijder DJP yaitu komunitas pegawai pajak yang menyukai naik motor besar.

Menyikapi pemberitaan tersebut, saya menyampaikan instruksi kepada Dirjen Pajak sebagai berikut:

  1. Jelaskan dan sampaikan kepada masyarakat/publik mengenai jumlah Harta Kekayaan Dirjen Pajak dan dari mana sumbernya seperti yang dilaporkan pada LHKPN.
  2. Meminta agar klub Blasting Rijder DJP dibubarkan. Hobi dan gaya hidup mengendarai Moge - menimbulkan persepsi negatif masyarakat dan menimbulkan kecurigaan mengenai sumber kekayaan para pegawai DJP.

Bahkan apabila Moge tersebut diperoleh dan dibeli dengan uang halal dan gaji resmi; mengendarai dan memamerkan Moge bagi Pejabat/Pegawai Pajak dan Kemenkeu telah melanggar asas kepatutan dan kepantasan publik.

Ini mencederai kepercayaan masyarakat.

26 Februari 2023.

Warganet pun bereaksi atas status Sri Mulyani ini. 

Salah satu warganet menilai, pemilihan nama Belasting Rijder sangat kental dengan kebijakan kolonial kejam Belanda. 

"Yang bikin tambah nyesek adalah penggunaan kata Belasting di klub mereka, Bu. Ini kata sangat bernada kolonial sekali. Banyak perlawanan masyarakat zaman Hindia Belanda dulu karena kata ini. Salah satunya Perang Belasting di Kamang, Agam, Sumatera Barat 1908," tulis netizen dengan nama akun Ubegebe1.

 

Apa Makna Kata Belasting?

Terkait nama klub moge pegawai pajak Klub Blasting Rijder DJP, ini ternyata diambil dari kata Belasting.

Belasting dalam Bahasa Belanda berarti sopir pajak. Belasting bagi masyarakat Indonesia terutama di wilayah Sumatera Barat memiliki makna yang negatif. 

Pernah terjadi Perang Belasting di Sumatera Barat. Perang ini bermula dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda memungut berbagai jenis pajak kepada masyarakat. 

Pajak-pajak itu mulai dari pajak kepala, pajak pemasukan barang, pajak tanah, pajak keuntungan, pajak rumah tangga, pajak penyembelihan, pajak tembakau hingga pajak rumah adat dan jenis pajak lainnya.  

Saking kejamnya, untuk memuluskan pungutan pajak ini, Belanda sengaja melibatkan militer, mengirim para tentaranya agar tidak ada warga yang berani protes saat pajak akan dipungut.

Tak sekedar itu, para tentara Belanda itu bahkan juga berkelakuan tidak baik, mereka sering mabuk-mabukan, memperkosa masyarakat dan juga berjudi.

Dalam buku berjudul Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah, penulis Mulyono Atmosiswartoputra menuliskan pada 16 Juni 1908 akhirnya timbul perlawanan yang dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Rasyid Bagindo. 

Dalam serangan itu, ada 53 dari 55 tentara Hindia Belanda tewas. “Setapak takkan mundur, selangkah takkan kembali,” ujar Siti Manggopoh dalam tulisan Mulyono Atmosiswartoputra.

Dalam perang ini, perlawanan hanya bermodalkan senjata sederhana berupa parang. 

Mengetahui tentaranya banyak yang meninggal, pemerintah Hindia Belanda pun ngamuk besar. 

Dendam pun dibalas dengan melakukan serangan balasan ke wilayah Manggopo, Sumatera Barat, kini Kabupaten Agam.  Wilayah Manggopo pun dibumihanguskan.

Belanda juga menyiksa warga Manggopo, mereka dipaksa buka suara dimana Siti Manggopoh berada. Banyak warga yang memilih diam, tak mau berbicara lalu memilih untuk disiksa saja.

Namun ternyata Siti Manggopoh tak tahan juga melihat banyak warga yang disiksa. Kemudian ia menyerahkan diri dengan syarat tak ada lagi warga Manggopoh yang disakiti. 

Siti Manggopoh kemudian mendapat hukuman penjara sementara suaminya Rasyid Bagindo, dibuang dan diasingkan Belanda ke Manado. 

Ada kejadian dramatis, ketika dalam persidangan Siti Manggopoh ditanya apakah menyesal telah melawan Belanda? "Saya menyesal karena tidak semua Belanda ada di markas itu terbunuh," Siti Manggopoh menjawab tegas dengan kalimat ini.

Begitulah sekilas sejarah kelam Belasting terhadap bangsa ini. Kemudian oleh pegawai Ditjen Pajak yang berduit, diabadikan pula nama itu sebagai nama sebuah klub motor gede, motor mahal yang harganya ratusan juta hingga milyaran. 

Hal ini pun dinilai warganet sangat tidak pantas karena telah mencederai hati masyarakat dengan cara yang sangat langsung. (*)

 

Editor: Cessika